Fakta yang terpendam dalam rumitnya konflik Aceh
Kota Banda Aceh-Masa
kini.
Udara panas yang kaya akan gas karbon monoksida berhembus menerpa
debu-debu jalanan. Matahari bersinar terik membakar apapun yang disinarinya.
Suara para pedagang kaki lima memenuhi indra pendengaran. Panas dan sumpeknya
udara tak menghalangi mereka dari mengais rezeki. Beberapa puluh meter dari
tempat itu dua orang anak muda mengendarai motornya. Dengan hati yang
menggebu-gebu mereka memacu motornya membelah jalanan. Dengan uang yang sudah
dipersiapkan di dompetnya mereka berencana untuk pergi ke toko ponsel untuk
membeli sebuah telepon genggam.
“Wi, kira-kira ko mau beli hape apa?,” tanya salah satunya.
“Menurut ko bagusnya aku beli hape apa?,” balas lawan
bicaranya.
“Emangnya ko mau beli hape yang gimana?”
“Aku perlu yang RAM-nya tinggi, pokoknya kalo aku
maen game ga leletlah hapenya”
“Kalo gitu ko beli aja Sony Experia Z5 aja, bagus tu RAM-nya
3 GB tapi harganya 10 jutaan”
“Uangku Cuma 2 juta, ko tawarinlah yang murah dikit”
“Kalo gitu ko beli aja Samsung Galaxy J2 Prime, harganya
1,7 juta”
“Nanti lah kita liat langsung di tokonya, biar lebih jelas”
tungkasnya.
Mereka masih dalam perjalanan dan karena terlalu asik membahas tentang hape yang akan dibeli mereka tak tak sadar bahwa di depan mereka ada razia polisi lalu lintas.
“Minggir. Minggir,” bentak salah seorang polisi itu. Mereka
pun memperlambat laju motornya dan meminggirkannya ke sebelah kiri jalan.
Polisi itupun bertanya dengan suara keras.
“Dek, STNK sama SIM nya mana?,” bentaknya
“STNKnya di rumah pak. Kalo SIM saya belum punya,” jawab
pemuda yang mengendarai motor.
“Kamu yang di belakang ada gak?,” tanya polisi itu kepada
pemuda yang duduk di belakang pemuda tadi.
“Saya juga belum punya pak,” jawabnya.
“Ooohh kalian, besok-besok jangan lupa STNKnya ya. Kalo
belum punya SIM jangan bawa motor ke jalan raya dulu. Kalo ditilang bahaya,
bisa ribet urusannya,” pesan polisi itu kepada kedua pemuda tersebut.
“Iya pak, kami gak akan ulangi lagi,” jawab mereka berdua.
“Ayah kamu kerja di mana?,” tanya polisi itu kepada pemuda
yang di depan.
“Di KODAM pak” jawabnya berbohong, padahal ayahnya adalah
seorang guru honorer pada sebuah SD di dekat rumahnya.
“Ooh. Kalian mau kemana?,” tanya polisi itu.
“Mau ke pasar pak,” jawabnya.
“Mau ngapain ke sana?”
“Kami mau beli kitab pak, untuk belajar. Kami anak
pesantren pak, motor ini punya ustadz,” jawab pemuda itu, berbohong lagi.
“Mau beli kitab apa?”
“Kitab tafsir pak”
“Ya sudah lah. Pergi aja. Lain kali hati-hati ya, jangan
diulangi lagi. Kamu yang di depan jangan lapor sama ayah ya...”, kata polisi
itu, agak bergetar ucapannya pada kalimat terakhir, seperti merasa takut.
“Iya pak. Tapi kenapa jangan lapor ayah pak?”
“Pokoknya jangan laporlahh”
“Memangnya kalo saya lapor kenapa pak?”, tantang pemuda
itu.
“Jangan” balas si polisi
“Ooo. Bapak takut yaa...”, ejek kedua pemuda itu sambil
memacu motornya dengan segera. Sesaat, polisi itu termenung memikirkan
nasibnya.
“Sudah berkali-kali aku ditakut-takuti orang dengan
tentara”, batinnya. Ingatannya kembali ke masa lima belas tahun yang lalu,
ketika peristiwa yang mengerikan itu terjadi. Saat itu ia masih berumur 5
tahun, kelas 1 SD. Masih seorang anak yang belum mengerti kehidupan. Ketika itu
Aceh masih bergolak, ingin pisah dari negara induknya, indonesia.
#####
Tangse, Pidie-15 tahun
yang lalu.
Tadi malam ada kontak senjata di hutan belakang.
Beredar kabar bahwa di kampung ini ada informan yang memberi tahu pemberontak
bahwa akan ada operasi di hutan belakang. Setelah mengetahui informasi itu,
para pemberontak segera pindah dari sana. Sehingga malamnya ketika tentara
sampai di tempat yang diperkirakan sebagai tempat persembunyian pemberontak,
sudah tidak ada lagi siapa-siapa di sana. Mereka akhirnya melanjutkan pencarian
lebih ke dalam hutan. Mereka terus mencari, melangkah cepat dan gesit dalam
keheningan malam di antara orkestra suara binatang malam yang bersahut-sahutan.
Setelah beberapa lama berjalan, indra mereka menangkap gerakan mencurigakan di
dinding bukit di sebelah kanan mereka. Tiba-tiba, DOOR!!!. Suara tembakan
senjata laras panjang terdengar membahana memecah keheningan malam. Seorang
anggota mereka tergeletak tak berdaya setelah kepalanya tertembus peluru.
“MEREKA DI ATAS BUKIT!!!”, teriak sang komandan. Anak
buahnya pun tiarap dengan sigap bersiap untuk membalas serangan.
“KEPUNG MEREKA!!!”, teriaknya lagi. Anak buahnya pun
bangkit untuk menyerang. Tapi mereka bahkan tak tahu harus menyerang kemana
dalam keheningan malam. Si penembak tadi bersembunyi dengan penyamaran yang
sangat sempurna, sehingga para tentara ini tak tahu di mana posisinya. Ia juga
mendapatkan posisi yang sempurna karena ia berada di atas bukit dan musuhnya
masih di bawah. Dalam kepanikan para prajurit itu, DOOR!!!, suara tembakan
kembali terdengar. Salah satu anggota yang sejak tadi berdiri di samping
komandan akhirnya meregang nyawa. Kepalanya berlubang ditembus peluru. Mereka
pun mulai panik.
“PASUKAN MUNDUR SEMUA!!!”, perintah sang komandan. Ternyata
ia juga mulai panik dan merasa pasukannya menjadi sasaran empuk dengan posisi
seperti ini. Dia tak mau menyia-nyiakan nyawa anak buahnya. Dia pun lari
kembali ke pos mereka di pinggir kampung. Anak buahnya mengikuti di belakang.
Mereka tak sempat mengevakuasi mayat kedua temannya yang tadi tertembak. Takut
jadi yang ke tiga. Mereka terus berlari hingga tiba di pos keamanan hanya untuk
menemukan bahwa pos mereka sudah tinggal arang hitam dengan asap yang masih
mengepul. Anggota TNI yang sedang ketakutan itupun marah sejadi-jadinya dan
hampir kehilangan kontrol. Beruntung, sang komandan berhasil menenangkan
mereka.
“Sudahlah. Malam ini kita tidur di meunasah saja
sambil tetap bersiaga jika ada serangan lagi. Besok kita akan kumpulkan semua
warga untuk diintrogasi, aku yakin ada salah satu dari mereka yang membocorkan
rencana operasi malam ini”, kata sang komandan. Mereka pun berjalan menuju meunasah
untuk beristirahat setelah bertugas seharian penuh. Beberapa dari mereka
bergantian berjaga kalau-kalau ada serangan lagi.
Besoknya ketika orang-orang sudah mulai beraktifitas,
mereka mengumpulkan seluruh warga di kampung itu baik laki-laki maupun
perempuan, orang tua maupun anak-anak. Seluruh warga diintrogasi satu-persatu.
Wahed berdiri di barisan perempuan sambil menggandeng tangan ibunya dengan
erat. Proses introgasi dimulai dari para lelaki. Semuanya ditanyai satu-persatu
tentang keterlibatannya dengan gerakan pemberontak. Jika tidak menjawab
langsung dipukuli dengan popor senjata dan ditendang dengan sepatu lars.
Terkadang introgasi bahkan berakhir dengan penyiksaan yang berujung pada
kematian dengan kondisi mayat yang menggenaskan.
Tentara acap kali hanya memerintahkan untuk menyanyikan lagu
kebangsaan, atau lagu wajib nasional. Bahkan hanya meminta untuk menyebutkan
kelima sila dalam Pancasila. Tapi apalah daya para warga desa pedalaman seperti
itu, hanya sebagian kecil dari mereka yang pernah mengenyam bangku sekolah.
Sedari kecil mereka hanya diajarkan bagaimana caranya beribadah, dan bagaimana
caranya membaca Al-Quran. Jangan tanya apa mereka tahu lagu Indonesia Raya,
apalagi Pancasila. Lidah yang biasanya mereka gunakan untuk melantunkan shalawat,
wirid dan ayat suci Al-Quran, dipaksa untuk mengucapkan bulir-bulir
Pancasila. Untuk apa sekolah jika jiwa kesatria telah mengalir dalam darah
mereka. Untuk apa sekolah jika budi pekerti kebangsawanan telah diwarisi dari
leluhur mereka. Jiwa kesatria dan budi pekerti telah menyatu dalam sebuah
tatanan masyarakat bersama dayah dan para ulama. Serta Allah Yang Maha
Kuasa yang memberikan mereka lembah-lembah hijau penuh dengan keberkatan dan
laut jernih yang penuh akan nikmat. Lebih baik membantu orang tua bekerja dan
pergi belajar mengaji kepada Teungku di meunasah pada malam
harinya.
Dan dengan model introgasi yang konyol ini TNI telah membuat
banyak kampung di pedalaman Aceh menjadi ladang pembantaian. Begitu murahnya
harga nyawa manusia pada saat itu. Pembunuhan terjadi di mana-mana. Banyak
orang yang mungkin paginya masih bisa tertawa-tawa di warung kopi, tapi siang
harinya sudah tak diketahui lagi rimbanya, hilang bagai tak pernah ada.
Jika memang dicurigai sebagai antek gerakan separatis,
tentara bahkan tak segan membunuh secara sadis dengan dikuliti, dipotong satu
persatu anggota tubuhnya, atau dipancung. Malangnya, nasib tragis inilah yang
menimpa Pak Abu Bakar, ayah kandung Wahed. Ketika ditanyai ia tidak menjawab
bahkan ia malah memaki-maki tentara yang menanyainya.
“Kamu cuak separatis ya?”, bentak tentara itu.
Pak Abu tidak menjawab.
“Ayo jawab. Ngaku!!!” bentaknya lagi.
Pak Abu tetap diam seribu bahasa.
“Cepat jawab, atau kamu saya tembak” bentaknya sambil
memukul Pak Abu dengan popor senjata dan menendang wajahnya dengan tapak sepatu
lars.
“Dasar tentara biadab!. Apa kalian tidak diajari bagaimana
berbicara dengan orang tua? Jangan asal tuduh jika tidak tahu apa-apa.” Bentak
Pak Abu Bakar pada tentara itu.
Tentara itu tersulut emosi. Dia mengajak teman-temannya
untuk mengeksekusi Pak Abu. Pak Abu diseret kemudian diikat ke sebuah tiang di
tengah lapangan. Satu persatu pakaiannya dilucuti hingga telanjang. Tentara
menyiksanya bergantian sambil terus memaki-maki dan memaksanya untuk mengaku
sebagai mata-mata gerakan separatis. Pak Abu hanya bisa meringis kesakitan
sambil terus berzikir mengucap Asma Allah. Para warga lain yang menyaksikan
penyiksaan itu hanya bisa berdoa demi keselamatan Pak Abu. Para penyiksa mulai
memotong telinganya kemudian menanyainya lagi.
“Kau antek pemberontak ya?” bentak tentara itu.
“Bukan.. Astaghfirullah.” Jawab Pak Abu sambil
meringis menahan rasa sakit yang luar biasa.
“Bohong kamu.. Ayo ngaku..!!!”
“Aku tidak akan mengakui perbuatan yang tidak aku lakukan”
Tentara itu terus menerus memaksa Pak Abu untuk mengaku.
Tapi Pak Abu tetap teguh dengan pendiriannya karena memang tidak bersalah.
Tentara itupun kalap dan akhirnya mencabut pistol dari pinggangnya dan menembak
Pak Abu tepat di kepala. Pak Abu akhirnya meregang nyawa setelah mengucapkan
kalimat tauhid Lailahaillallah Muhammadurrasulullah. Satu lagi syahid
korban perang membela tanah air bertambah. Wafat dengan senyum manis yang
terukir di wajahnya. Darah kembali membasahi Bumi Aceh tercinta. Menyisakan
trauma mendalam yang sulit dilupakan di dalam dada orang yang ditinggalkannya.
Wahed, seorang bocah lugu yang sejak tadi menyaksikan
kematian tragis ayah tercintanya, akhirnya menangis keras. Ibunya yang takut
akan keselamatan anaknya membekap mulut anaknya itu agar tetap diam dan tak
menarik perhatian. Karena jika tentara mengetahui bahwa mereka merupakan
keluarga Pak Abu Bakar, mereka bisa ikut di siksa. Wahed akhirnya bisa
ditenangkan oleh ibunya dalam pelukan. Ia baru saja kehilangan seorang lelaki
yang dicintainya, lelaki yang menopang hidupnya, lelaki yang selama ini setia
menemaninya dalam menghadapi hidup. Dan semenjak kejadian itu telah muncullah
rasa dendam dalam hati seorang anak lugu yang bahkan belum mengerti arti
kehidupan. Dendam kepada setiap lelaki loreng. Orang-orang yang telah
membuatnya kehilangan tumpuan hidup.
Begitu mahalkah harga sebuah kemerdekaan?. Haruskah dibayar
dengan nyawa seseorang yang tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan
pemberontak?. Begitu kejamkah aparat negara ini, membuat seorang anak
kehilangan masa depan?. Apakah mereka tak lagi memiliki hati nurani sehingga
sanggup melakukan perbuatan yang bahkan seekor binatang pun tak tega
melakukannya. Siapa lagi yang akan menyekolahkan anaknya, Wahed. Ia kini harus
berjuang sendirian menyongsong anaknya menggapai masa depan yang cemerlang,
tidak seperti dirinya yang SD saja tidak tamat karena kemiskinan memaksanya
untuk bekerja menyambung hidup. Kini sejarah itu terulang kembali, ia harus
bekerja lagi untuk menyambung hidup, tak hanya untuk dirinya tapi juga untuk
Wahed, buah hatinya.
Setelah kejadian itu ibunya harus bekerja sendiri untuk
membiayai anaknya sekolah sampai jenjang yang tinggi. Ia berjuang mengais
rezeki dengan membuat kue-kue tradisional dan menitipkannya ke warung-warung
kopi untuk dijual. Anaknya, Wahed dengan senang hati dan dengan ikhlas membantu
ibunya berjualan dengan membawa sebagian kue buatan ibunya ke kantin sekolah
untuk dijual. Sepulang dari sekolah ia pun menemani ibunya berbelanja ke pasar
untuk menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue yang akan dijual esok hari.
Pulang dari pasar mereka biasa akan singgah di warung-warung kopi yang tadi
pagi dititipi kue untuk mengambil toples dan uang hasil penjualan. Kalau banyak
ya alhamdulillah. Tetapi yang namanya berjualan pasti tidak selalu
untung, terkadang mereka juga harus merugi karena kue-kueanya tak habis
terjual.
Tanggal 26 Desember 2004. Tsunami melanda Aceh. Mungkin Tuhan
merasa perlu membasuh bumi Aceh yang telah lama basah oleh darah. Tragedi
tsunami ini telah membantu meredakan Konflik Aceh. Para pemberontak yang telah
lama bersembunyi di tengah hutan pulang kembali ke kampung, hendak melihat
apakah sanak saudaranya selamat. Tentara memanfaatkan kondisi ini dan mereka
menangkapi dan membunuh para pemberontak yang pulang kampung. Namun akhirnya,
berkat rahmat Allah melalui kejadian ini terjadi lah kesepakatan damai antara
kedua belah pihak yang bertikai. Kemudian pada tanggal 15 Agustus 2005
bertepatan dengan MOU Helsinki, Aceh resmi berdamai dengan Indonesia dan
bergabung kedalam NKRI.
Tak terasa segala halangan dan rintangan telah dihadapi Wahed dan
Ibunya dalam menghadapi hidup. Sebelas tahun berlalu dengan cepat. Hari ini
Wahed diwisuda dan dinyatakan lulus dari SMA. Ia juga mendapat penghargaan
sebagai lulusan terbaik karena telah membanggakan nama sekolah ke tingkat
kabupaten. Ia mendapat undangan untuk kuliah di kampus terkenal di Aceh kala
itu. Tapi ia tidak mendapat beasiswa karena sekolahnya bukan sekolah favorit
dan terletak jauh dari kota. Wahed sangat gembira dan bersemangat saat
menyampaikan perihal undangan itu kepada ibunya. Ibunya pun merasa senang dan
memeluk putra kebanggannya itu. Tapi tak berapa lama ibunya terdiam dan
mengalirlah air matanya. Wahed yang sadar ibunya menangis akhirnya kaget dan
bertanya,
“Ibu kenapa bu? Apa Ibu tidak bangga dengan prestasiku
ini?” tanya wahed.
“Bukan ibu tidak bangga nak. Ibu sangat bangga padamu. Anak
ibu satu-satunya. Permata hati ibu. Hanya karena kau lah ibu mampu mengahadapi
hidup. Ibu hanya berpikir, siapa yang akan membiayaimu untuk kuliah di sana.
Ayahmu telah tiada.” Ungkap ibunya sambil terisak.
Wahed pun akhirnya tersadar, siapa yang akan membiayainya
untuk melanjutkan studi di universitas tersebut. Ia tidak mendapat beasiswa
tapi hanya undangan.
“Ya sudah lah bu. Tidak usah saja aku kuliah, lebih baik
aku tetap tinggal di sini membantu ibu” kata wahed kemudian.
“Tidak perlu nak. Pergilah dan gapai masa depanmu. Ibu
punya simpanan yang kira-kira cukup untuk menyekolahkanmu untuk menjadi seorang
tentara. Ibu ingin kamu bisa melindungi ibu jika nanti terjadi konflik lagi.”
Jelas ibunya penuh harap.
“Tapi bu... Aku tidak mau menjadi tentara. Aku tidak mau
menjadi pembunuh bu. Tentaralah yang telah membunuh ayahku, gara-gara mereka
aku kehilangan masa depan.” Tolak wahed.
“Tapi ibu tidak sanggup membiayaimu untuk melanjutkan
kuliah dan ibu tidak ingin anak pintar sepertimu hanya menjadi petani di
kampung. Kalau kau mau jadi tentara Insya Allah ibu masih sanggup
membiayaimu nak. Atau kau mau jadi polisi saja?”
Wahed pun setuju, “Kalau polisi mungkin bisa bu”
“Baiklah nak. Seminggu lagi waktumu unutuk menikmati
liburan di kampung. Minggu depan kita akan pergi ke kota untuk mendaftarkanmu
di Polda untuk mengikuti tes calon polisi.
Wahed mengangguk mengiyakan kata-kata ibunya.
Esoknya, Wahed pergi ke sekolahnya untuk memberitahu kepala
sekolah bahwa ia tidak bisa menerima undangan ke universitas itu karena ibunya
tidak mampu membiayainya. Sekaligus menyampaikan bahwa minggu depan ia akan ke
kota untuk mendaftar menjadi calon polisi. Kepala sekolah memaklumi dan
mendoakan agar Wahed lulus dalam tes polisi nanti.
Hari demi hari telah berlalu. Hari ini Wahed dan ibunya
akan pergi ke kota seperti yang sudah direncanakan. Setelah menyalami
tetangga-tetangga dekat dan memohon restu dan doa agar selamat sampai tujuan
dan ketika kembali pulang sekaligus agar Wahed lulus dalam tes nanti. Semalam
ibunya telah melapor kepada geuchik bahwa rumahnya akan kosong selama
beberapa hari. Di kota mereka akan menginap di rumah Yahwa, yaitu adik dari
Pak Abu Bakar, ayah Wahed.
Setelah melewati perjalanan panjang selama 3 jam dari
kampung, mereka akhirnya tiba di Kota Banda Aceh. Sungguh perjalanan yang
membosankan. Ketika mereka tiba di Terminal Batoh, mereka langsung mencari
dimana Yahwa menunggu. Ternyata Yahwa bersama istri dan kedua
anaknya telah menunggu di dekat gerbang utama terminal. Setelah saling menyapa
dan berpelukan melepas rindu, mereka langsung menuju ke rumah Yahwa
untuk beristirahat. Tes polisi akan dilaksanakan besok.
Pagi-pagi sekali Wahed dan ibunya dengan diantar Yahwa
telah tiba di Polda. Beberapa saat kemudian tes pun dimulai. Wahed berhasil
mengikuti semua tes itu dengan lancar. Seminggu kemudian ia dinyatakan lulus
dan akan segera menjalani pendidikan dan pelatihan di SPN Seulawah. Ia dan Yahwa
mengantar ibunya ke terminal untuk kembali ke kampung. Sementara Wahed tetap di
Banda untuk menjalani pendidikannya sebagai calon bintara.
Hari demi hari dan bulan demi bulan berlalu. Setelah mengikuti
pendidikan dan pelatihan di SPN ia akhirnya lulus dan resmi menjadi anggota
Kepolisian Republik Indonesia. Ia ditempatkan di Satlantas Polresta Banda Aceh.
Bertahun sudah dia bertugas di satuan itu.
Kota Banda Aceh-Masa
kini
BRAAAK!!! Suara tabrakan
terdengar keras mengalahkan riuhnya suara kendaraan yang berlalu lalang.
Sesosok tubuh berseragam terpelanting jauh dari tempat berdirinya semula.Darah menggenang di bawah tubuhnya. Beberapa orang dengan seragam yang sama berhasil
menghentikan laju mobil itu dan memerintahkan si pengemudi untuk keluar dan
kemudian memborgolnya. Beberapa orang
lain yang juga berseragam telah memanggil ambulan untuk membawa teman mereka
itu ke rumah sakit untuk mendapatkan
pertolongan pertama. Tapi Tuhan berkata lain, sebelum ambulan tiba di rumah
sakit ia telah tiada. Meninggalkan dunia yang fana ini untuk selama-lamanya. Temannya
langsung menghubungi orang tua korban untuk memberitahu tentang kematian sang
anak. Malam harinya, sang ibu tiba dan
langsung meminta agar jenazah anaknya dibawa pulang ke kampung untuk
dikebumikan di sana.
Dini hari, jenazah telah
tiba di rumah duka. Pagi harinya Fardhu Kifayah segera
dilaksanakan dan
kemudian dikuburkan di sebidang tanah di belakang rumahnya.
Ia dikebumikan di
sebelah kanan pusara ayahnya yang telah lama meninggal. Setelah prosesi
pemakaman selesai di atas gundukan tanah yang masih baru itu ditancapkan batu
pada tiap ujungnya. Salah satunya
bertuliskan :
Makam di sebelahnya juga
memiliki batu yang sama namun sudah sangat kusam
karena usianya telah
mencapai 15 tahun. Batu itu bertuliskan :
‘Alm.
Abu Bakar Bin Rasyid’
Epilog
Abdul Wahid, seorang
polisi yang bertugas di Satlantas Polresta Banda Aceh, kembali teringat akan
masa kecilnya yang kelam serta rasa trauma dan dendamnya pada setiap lelaki
loreng. Pikiran yang menghantui benaknya itu telah membuat dirinya lalai, tanpa
disadari sebuah mobil melaju dengan kencang dari belakangnya
dan BRAAK!!!.
Itulah sekelumit cerita
yang tersembunyi dalam kelamnya masa konflik di Aceh. Tak semua orang tahu dan
sadar akan cerita tersebut. Dan itu bukanlah satu-satunya cerita kelam di balik
Konflik Aceh, masih ada ratusan hingga ribuan kisah lainnya yang tersembunyi di
balik pentas politik Aceh.
THE END
Sabtu, 9 Desember
2017
19:45
Very goodd
ReplyDeleteWhat a nice job😍 serius ini bagus banget. Bumbunya juga enak🔥🔥🔥
ReplyDeleteDi tunggu karya selanjutnya!
Post a Comment